Archive for Agustus, 2012


Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan pondok pesantren tidak lepas dari penyebaran Islam di bumi nusantara, sedangkan asal-usul sistem pendidikan pondok pesantren dikatakan Karel A. Steenberink peneliti asal Belanda berasal dari dua pendapat yang berkembang yaitu; pertama dari tradisi Hindu. Kedua, dari tradisi dunia Islam dan Arab itu sendiri.[1]

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi Hindu berargumen bahwa dalam dunia Islam tidak ada system pendidikan pondok dimana para pelajar menginap di suatu tempat tertentu disekitar lokasi guru. I.J. Brugman dan K. Meys yang menyimpulkan dari tradisi pesantren seperti; penghormatan santri kepada kiyai, tata hubungan keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh Negara kepada para guru dan pendeta. Gejala lain yang menunjukkan azas non-Islam pesantren tidak terdapat di Negara-negara Islam.[2]

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa system pondok pesantren merupakan tradisi dunia Islam menghadirkan bukti bahwa di zaman Abasiah telah ada model pendidikan pondokan. Muhammad Junus, misalnya mengemukakan bahwa model pembelajaran individual seperti sorogan, serta system pengajaran yang dimulai dengan baljar tata bahasa Arab ditemukan juga di Bagdad ketika menjadi pusat ibu kota pemerintahan Islam. Begitu juga mengenai tradisi penyerahan tanah wakaf oleh penguasa kepada tokoh religious untuk dijadikan pusat keagamaan.[3]

Terlepas dari perbedaan para pakar mengenai asal tradisinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa pesantren adalah warisan budaya para pendahulu. Jika pun tradisi pesantren berasal dari Hindu-India atau Arab-Islam, bentuk serta corak pesantren Indonesia memiliki ciri khusus yang dengannya kita bisa menyatakan bahwa pesantren Indonesia adalah asli buatan Indonesia, indigenous.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sejarah pesantren setua sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah siapa tokoh yang pertama kali mengakflikasikan system pendidikan pesantren di Indonesia? Nama Maulana Malik Ibrahim pioneer Wali Songo disebut sebagai tokoh pertama yang mendirikan pesantren.

Maulana Malik Ibrahim atau lebih terkenal sebagai Sunan Gresik adalah seorang ulama kelahiran Samarkand, ayahnya Maulana Jumadil Kubro keturunan kesepuluh dari Husein bin Ali. Pada tahun 1404 M, Maulana Malik Ibrahim singgah di desa Leran Gresik Jawa Timur setelah sebelumnya tingal selama 13 tahun di Champa.

Perjalanan Maulana Malik Ibrahin dari Champa ke Jawa adalah untuk mendakwahkan agama Islam kepada para penduduknya. Di Jawa, beliau memulai hidup dengan membuka warung yang menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah. Untuk melakukan proses pendekatan terhadap warga, Maulana Malik Ibrahim juga membuka praktek ketabiban tanpa bayaran. Kedermawanan serta kebaikan hati, pedagang pendatang ini membuat banyak warga bersimpati kemudian menyatakan masuk Islam dan berguru ilmu agama kepadanya.

Pengikut Sunan Gresik semakin hari semakin bertambah sehingga rumahnya tidak sanggup menampung murid-murid yang datang untuk belajar ilmu agama Islam. Menyadari hal ini, Maulana Malik Ibrahim yang juga dikenal sebagai Kakek Bantal mulai mendirikan bangunan untuk murid-muridnya menuntut ilmu. Inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Indonesia.[4]

Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren pertama di Kembang Kuning kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pesantren kedua di sana.[5] Dari pesantren Ampel Denta ini lahir santri-santri yang kemudian mendirikan pesantren di daerah lain, diantaranya adalah Syekh Ainul Yakin yang mendirikan pesantren di desa Sidomukti, Selatan Gresik dan Maulana makdum Ibrahim yang mendirikan pesantren di Tuban.


[1] MU YAPPI, Manajemen…, hal.26.

[2] H. Rohadi dkk, Rekontruksi…, hal.13.

[3] MU YAPPI, Manajemen…, hal.28.

[4] LIhat, Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo, hal. 19-20.

[5] LIhat,  H. Rohadi dkk, Rekontruksi…, hal.14.

H. Muhammad Jamhuri, Lc. MA. *)

 

Pendahuluan

Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.

 

Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.

 

Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga  -paling tidak-  mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.

 

Pondok pesantren Dahulu

Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.

 

Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.

 

Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.

 

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi  fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

 

Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.

 

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.

 

Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.

 

Pesantren Kini

Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.

 

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.

 

Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

 

Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.

 

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan  dan mereka yang  memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.

 

Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.

 

Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.

 

Pembaharuan di Bidang Furu’

Yang dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa perubahan pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya beberapa kelemahan yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya kebutuhan masyarakat di mana pesantren itu berada. Untuk mengisi kekurangan di bidang penguasaan kitab kuning umpamanya, beberapa pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, meskipun jam pelajarannya berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang dilakukan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi (perpaduan) mazdhab Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah tumbuhnya pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning pun tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang ditemukan pada pesantren Salaf, meskipun demikian metode pembacaannya (secara nahwu) masih mengikuti mazdhab Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada kedudukan mubtada  dan khobar. Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti sylabus Depag atau Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang terdapat pada Gontor dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi. Atau paling tidak beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi. Sehingga bobot Gontornya sedikit berkurang. Namun demikian, langkah ini membantu para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena  adanya ijazah negeri. Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok Pesantren Daarun Najah, Daarul Qolam dan pesantren-pesantren sekarang pada umumnya.

 

Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan

Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.

 

Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita  mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Ha lini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.

 

Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.

 

Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

 

Pendidikan Islam Alternatif

Beberpa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-sekolah unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok pesantren. Dipergunakannya nama “SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena dorongan kebutuhan market (pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman.

 

Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir dari sebuah SMP atau SMA.

 

Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam. Inilah mungkin yang pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai “Hati Mekkah, Otak Jerman”. Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar. Soalnya, pendidikan Islam harus bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa harus Islami”, dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman keemasan.

 

Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren, Ia juga mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa. Untuk menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini menyaring calon siswanya dengan ujian masuk yang ketat. Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam menerima para siswa. Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat walau harus membayar dengan harga tinggi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.

 

Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses?.  Belum tentu, selain belum lahirnya para alumni model ini, sistem pendidikan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Bahkan kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun satu atau dua dasawarsa ke depan.

 

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam. Tidak aneh bila ada anggapan bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia, baik melaui cara halus maupun kasar.

 

Walau bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar dengan lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan ajaran agamanya. Karena sekeluarnya dari almamater, dalam jiwanya merasa telah bebas dari segala peraturan dan tata tertib pesantren, padahal sebenarnya sebagian besar tata tertib itu adalah bagian dari ajaran Islam, seperti berjilbab, sholat berjamaah, membaca al-Quran, menjauhi yang haram dan syubhat, melakukan hal yang sunah dan lain sebagainya.

 

Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah, kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.

 

Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah demi izzul Islam wal muslimin. Wallahu’alam

Artikel ini ditulis oleh Abdul Adzim (Mahasiswa S3 Universitas Maulana Malik Ibrahim – Malang)

Pendahuluan

Usia pesantren jauh lebih tua dari pada Negara Indonesia. Pesantren adalah tempat menimba ilmu agama, serta mengasah kemampuan intelektual dan spritual. Tokoh sentralnya ialah sang Kyai. Kyai adalah sebuah gelar yang melekat pada seseorang karena status sosialnya sanggat penting nan mulia di sebuah komunitas teretentu.

Sebutan Kyai sangat populer di komunitas Jawa, dan Indonesia pada umumnya. Tidak mudah memperoleh gelar Kyai, karena memang tidak ada lembaga pendidikan yang mengeluarkan gelar Kyai. Di dalam tradisi Jawa, orang disebut Kyai jika memiliki pondok pesantren, santri, serta memiliki ilmu pengetahuan agama yang cukup, kapabel, serta prilaku dan tuturnya mencerminkan seorang ulama’ pewaris para Nabi.

Kyai sebagai Tokoh Sentral

Kyai ialah sebuah sebutan khusus dikalangan ulama’ Jawa, khususnya kalangan Nahdhotul Ulama’ (NU). Menurut sebagian pendapat, Kyai itu berasal dari bahasa Sangsekerta ’’KAI’’ yang artinya seorang ’’GURU”, pakar ruhani keagamaan yang mempunyai spritulitas cukup tinggi serta kedekatan dengan sang pencipta (Allah SWT). Sedangkan ‘’SANTRI” berarti orang yang ngansu (mencari) ilmu kerpada sang Kyai. Arti santri adalah’’ Sanggup Netepi Tuntunan Rosul Ilahi’’. Jadi orang bisa dikatakan Kyai, Jika mereka benar-benar menjadi guru yang selalu memberikan (mentransfer ilmu pengetehuan agama dan moral (ahlak) kepada santri-santinya), Kyai juga memiliki pesantren atau padepokan tempat mengajarkan ilmunya. Tingkah laku Kyai juga menjadi panutan oleh semua santrinya. Sedangkan menurut pemahaman orang Jawa, Kyai itu berasal dari kata ikiae (iki ae = ini saja) yang selanjutnya berubah menjadi Kyai. K.H Abdullah Fakih pengasuh ponpes Langitan menolak istilah ‘’iki ae’’ (Zulkifli; Gelar dalam Islam; 104). Beliau mensejajarkan Kyai dengan Syeh yang berasal bahasa Arab. Sebab, pengertian Syeh menurut para ulama ialah seorang tokoh yang memiliki derajat nan keutamaan. Selain berilmu (alim), Syeh itu seorang pengajar (al-Muallim) kepada para santri (murid) serta tutur dan prilakunya mencerminkan seorang Ulama’ pewaris Nabi.

Jadi Kyai adalah bukan hanya mengajar ilmu agama saja. Lebih dari itu, Kyai mengajarkan pola hidup yang sehat dan sederhana. Bahkan, pada masa awal-awal perjuangan melawan penjajahan jepang dan belanda. Sang Kyai tidak hanya duduk manis. Mereka menjadi pemimpin dilapangan, mengatur strategi perang griliya, mengadakan perundingan, serta hingga merususkan UUD 45, sampai merumuskan pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.

Lihat saja, begawan-begawan NU (Nahdhotul Ulama’), asal Jawa Timur K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari, menggelar pertemuan di langgar (musolla) H. Musa Kertopaten Surabaya. Para Kyai itu berjuang, menguras tenaga dan fikiran, hingga harta benda, demi mewujudkan Negara Indonesia yang Merdeka. Awalnya hanyalah sebuah organisasi, Pada pertemuan yang digelar Kyai-Kyai sepuh itu melahirkan satu gagagasan diberi nama Comite Hijaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda. Comite Hijaz ini bertujuan mengirimkan utusan ke tanah Hijaz untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud. Namun, karena satu hal tertentu. Sehingga Kyai Wahab Hasbullah urung berangkat ke Makkah, bersama Kyai Mas Mansur.[] Menutut keterangan Hartono Ahmad Jaiz, Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas.

Lebih lanjut lagi, Kyai atau yang lazim disebut dengan Ulama’ ini memiliki keahlian dan ketrampilan bermacam-macam. Ada seorang Kyai yang khusus mengajar al-Qur’an, sehingga melahirkan santri-santri penghafal al-Qur’an, begitu juga khusus Ilmu hadis. Memang, tidak menafikan bahwa pada realitasnya, banyak Kyai memiliki keahlian pengobatan tradisional (alternative), yang Lazim disebut dengan (Tabib). Ada juga yang memiliki keahlian ceramah dan menulis buku. Ada juga yang menekuni bidang Ekonomi hingga menjadi Kyai Yang kaya Raya (Konglomerat) sebagaimana Usman Ibn Affan dan Imam Abu Hanifah.

Ada juga Kyai yang Ahli Falak, Hisab (Astronomi), serta statistic, metafisika. Ada juga Kyai yang menekuni bidang kepemimpinan dan politik praktis hingga menjadi seorang menteri atau presiden. Dari sekian keahlian dan ketrampilan sang Kyai, kebanyakan dari mereka mendalami ilmu agama, seperti Fikih, hadis, tafsir, serta cabang-cabang ilmu agama yang lain.

Sangat tepat, jika Nabi s.a.w menuturkan :’’ Ulama’ (kyai) itu pewaris para Nabi’’. Para Nabi juga memiliki karakter serta sifat yang beragam. Nabi Ayub, beliau seorang yang Kaya Raya, yang kemudian sakit, tetapi beliau a.s sangat sabar. Nabi Yusuf, yang terkenal dengan ke-gantengannya. Nabi Ibrahim terkenal dengan filsafat pendidikan. Nabi Isa terkenal dengan ke-dokteran. Musa terkenal dengan White Magic, hingga mengalahkan Firaun dan rekan-rekanya. Idris a.s, terkenal dengan ketrampilan tangan (menjahit).

Sebagai pewaris Nabi yang memiliki beragam keahlian dan ketrampilan. Di dalam bingkai bangsa Indonesia, Sang Kyai memiliki tugas yang sangat berat, yaitu membagun moral generasi bangsa Indonesia seseuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Jangan sampai dipisahkan kedudukan Ulama’ dengan pemerintah, karena keduanya saling membantu untuk membangun moral generasi muda.

Mengingat perngtingnya makom (posisi) ulama’ di bumi Indonesia. Sudah saatnya, sang Kyai dengan segenap kemampuan dan ketrampilanya turun tangan memperbaiki dunia hukum, moral, pendidikan, seni, serta pola fikir masyarakat Indonesia.

Tujuan utamanya ialah, agar supaya musibah demi musibah yang melanda bumi pertiwi berangsur-ansur berkurang. Karena jika kemungkaran, kemasiatan serta kriminatias (mafia) disemua bidang; seperti kesehatan, hukum, pendidikan, politik, dan seni itu masih menghiasi bumi pertiwi, kemudian tidak ada yang turun tangan. Musibah demi musibah, akan terus datang silih berganti. Turun tangan para ulama’, bisa menjadi pencegah kiamat local, yang konon terjadi pada tahun 2012.

Locatan Terbaru di dunia Pendidikan

Jika kita melihat generasi mudi yang sedang menuntut ilmu di tingkat SMP, SMA, dan Perguruan tinggi begitu memprihatinkan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswi Austrilia UMM (Universitas Muhammadiyah Malang). Jumalah gadis yang tidak perawan menjapai 30 %-45 %. Mereka mengaku berhubungan layaknya suami istri diluar nikah, padahal mereka sadar dan tahu hukum agama. Berita, TV, majalah, Koran, bulletin hampir setiap hari memberitakan perkosaan dan pencabulan.

Untuk meminimalisir kemaksitan dan kemungkaran di dalam dunia pendidikan, ditingkat SMP, SMU, Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta. Diperlukan penanganan khusus, jika perlu perguruan itu dibuat seperti pesantren, tanpa mengurangi mata kuliah yang ada. Jika perlu, desain gedungnya juga mendukung, kondisi serta lingkungan mendukung serta berbgai disiplin ilmu. Selajutnya, bagi yang beragama islam, membaca al-Qur’an menjadi sebuah kewajiban sebelum memulai belajar. Dengan harapan, setiap hari bersinggunan dengan kalamu Allah.

Memesantrenkan Universitas sesuatu yang sangat mustahil. Tapi, minimal kampus itu bernuasa pesantren, dosen, dekan, rector menjadi Pubilik Figure (Uswatun Hasanah) bagi mahasiswa. Jika ini dilakukan, kemungkinan besar pertolongan tuhan di dalam proses belajar mengjajar akan semakin baik, pengetahuan akan berkembang signifikan seseuai dengan kemajuan jaman.

Peranan Pondok Pesantren Era Modern

Pondok pesantren satu-satunya lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Keberadaan pesantren menjadi ciri khas ke-islaman Indoensia, ini perlu dilestarikan sebagai kekuatan dan kekayaan budaya Indonesia. Di Berbagai Negara, tidak ditemukan lembaga pendidikan model pesantren seperti di Negeri Indonesia. Yang ada ialah pendidikan Formal dibawah Naugan pemerintah. Banyak warga Negara Malaysia, Brunai, Singgapura, Thailand, Suriname berburu ilmu pengetahuan dan agama di Pesantren.

Jarang ditemukan, orang Indonesia nyantri di Luar Negeri, kalaupun ada, mereka bukan di pondok pesantren, akan tetapi di Universitas, atau lembaga pendidikan Formal. Model pesantren ini sangat mirip dengan Halakoh-halakoh di Makkah sebelum masa pemerintahan Arab Saudi. Banyak dari para Kyai itu pernah mengenyam pendidikan di Makkah, yang selanjtnya di modifikasi sehingga menjadi Pondok Pesantren.

Pondok Pesantren (santri), dan Kyai tidak dapat dipisahkan. Tiga elemen inilah yang membuat Negeri Indonesia berdiri tegak dengan tidak menafikan kekuatan dari unsur lain.

Berdirinya Indonesia tidak lepas dari peranan pesantren serta Kyai dan Santrinya. Sudah saatnya, peranan pondok pesantren dan elemen-elemenya membagun kembali negeri Indonesia yang porak poranda hukum, pendidikan, ekonomi, serta moral generasi muda.

Mafia hukum, pendidikan hampir menjadi suguhan sehari-hari di media masa. Pengedar Narkotika, ganja, togel, pencurian, pencopetan, pemerkosaan, serta penipuan sudah menjadi rahasia umum. Satu ditangkap, esok harinya sudah ada lagi pelaku kriminalitas.

Padahal, lembaga pendidikan semakin banyak, mulai sekolahan, kampus, pesantren, majlis ta’lim. Ustad-ustad muda juga bermunculan di TV, tetapi kondisi hukum, politik, serta pendidikan moral masih belum ada penggaruhnya sedikitpun terhadap masyarakat Indonesia. Sangat berbeda dengan penggaruh pesantren pada masa berdirinya NU.

Kemungkinan besaper, para Kyai dan pesantren sudah terkontaminasi dengan pemerintah. Sehingga pemerintah, adapat mengkontral kegiatan pesantren dan kyai. Dengan demikian, peranan kyai dan pesantren tak ubahnya peranan pemerintah yang lemah terhadap kemungkran dan kekmasitan di bumi Nusantara

Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pertumbuhan dan kemajuan bangsa. Pembentukan karakter masyarakat suatu bangsa tergantung pada sistem pendidikan yang dilaksanakan dalam suatu negara. Tanpa pendidikan, masyarakat dalam suatu bangsa, tidak akan menemukan dan mendapatkan perubahan yang signifikan dalam setiap bidang. Bahkan masyarakat yang tak berpendidikan alias tidak pernah merasakan alam pendidikan akan melahirkan manusia yang bringas dan bebas tanpa batas serta tidak mengenal aturan dan moral. Jika nilai, moral dan keberadaban tidak dijaga melalui system pendidikan maka yang ada hanya kebiadaban, pengrusakan tatanan kehidupan dan alam. Disinalah peranan pendidikan menunjukkan begitu pentingnya.

Maraknya berita dan kabar kejahatan-kejahatan yang tersembunyi atau terang-terangan yang dilakukan para oknum penduduk, kelompok dan masyarakat Indonesia di setiap tayangan berita televisi atau di surat kabar Indonesia pada saat sekarang, telah memberikan bukti bahwa masyarakat telah jauh menghilangkan pentingnya penanaman moralitas. Kemudian gambaran tersebut telah memberikan nasehat yang berharga bahwa, sebegitu kejamnya arti kebebasan yang tanpa batas dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat sudah mulai Mengesampingkan arti norma, aturan, undang-undang, peraturan-peraturan dan bahkan agama. Padahal manusia hidup dalam bermasyarakat sangat membutuhkan standar nilai dan norma agar tidak terdapat clash atau pertentangan-pertentangan yang akan menimbulkan kerusakan dan ketidak harmonisan antar masyarakat.

Pendidikan bukanlah tanggung jawab lembaga pendidikan, pemerintah memiliki peranan yang penting dalam kemajuan pendidikan yang menghantarkan masyarakat berperadaban dan berilmu pengetahuan serta menjunjung moralitas kehidupan bermasyarakat, bernegara dan beragama. Tetapi tidaklah cukup hanya berhenti pada pemerintah dan lembaga pendidikan. Masyarakat selalu subjek kehidupan sangat besar peranannya dalam menentukan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan yang bermoralitas tinggi dan berilmu pengetahuan.

Lembaga pendidikan tertua yang pernah tumbuh dan menjamur di nusantara adalah pesantren. Telah banyak lembaga pendidikan berbasis pesantren ini, melahirkan cendekiawan-cendekiawan intelektual, agamawan-agamawan yang nasionalis, guru-guru bangsa yang mengabdikan tanpa pamrih dan bahkan pahlawan-pahlawan bangsa yang sangat gigih berjuang mengorbankan segalanya demi kemerdekaan bangsa dari colonial dan imperial yang mengukung bangsa Indonesia.

Dengan demikian lembaga pendidikan, masyarakat dan pemerintah harus bersatu padu, berpelukan erat menganyam satu tujuan demi kebebasan bangsa yang sedang mengalami keterpurukan politik, budaya, ekonomi, dan moral. Nasionalisme tinggi terhadap negara harus dipupuk dengan baik melalui dunia pendidikan. Dari tangan dan pemikiran-pemikiran nasionalis tinggi ini akan menghasilkan politikus yang handal, budayawan dan ekonom yang sangat bangga serta peduli terhadap bangsa. Tetapi tidaklah berhenti sampai disitu. Sebab sejarah telah membuktikan, Banyak politikus, budayawan dan ekonom yang lahir dari perut bangsa yang besar ini ( Indonesia ) tetapi tidak memiliki kepedulian yang besar terhadap kemalangan rakyat dan bangsa, bahkan sebagian mereka tak memperdulikan nasib rakyat, serta sempat menari-nari diatas penderitaan rakyat yang terseok-seok mempertahankan hidup demi sepiring nasi.

Tindakan selanjutnya dalam melahirkan kesatria bangsa adalah penanaman ajaran agama yang kuat pada mayarakat. Baik dan buruk, salah dan benar tidak cukup jika hanya menggunakan standar akal manusia tetapi dibutuhkan standar tuhan selaku pemilik alam semesta dan seisinya. Inilah yang kurang diperhatikan masyarakat bangsa Indonesia. Kita disibukkan bagaimana mencerdaskan otak-otak manusia dengan menjejali mereka dengan teori-teori ilmu pengetahuan tetapi melupakan ajaran agama.

Ajaran agama adalah masalah privat masyarakat, agama tidak memiliki ruang dihadapan public itulah anggapan selama ini. Sehingga yang dihasilkannya pun masyarakat yang materialistis, semua diukur melalaui materi dan tak ada standar norma atau nilai-nilai agama. Jadi pantas jika banyak para oknum aparat menyeleweng dari tugas, politikus yang mengejar kekayaan dengan dalih atas nama rakyat, ataupun budayawan yang nyeleneh dengan dalih atas nama seni.

Dengan lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003 dan PP (Peraturan Pemerintah) No. 55 tahun 2007 serta Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pendidikan agama dan keagamaan yang Insya Allah akan dikeluarkan pada tahun 2010 melalui oleh tiga kementrian (Menteri Dalam Negeri/Mendagri, Menteri Agama/Menag, dan Menteri Pendidikan Nasional/Mendiknas) memberikan angin segar bagi semua masyarakat khususnya lembaga pendidikan agama dan keagamaan yang sedang menggodok putra-putri bangsa untuk jadi kesatria bangsa.

Pesantren yang telah memiliki reputasi dan prestasi besar bagi bangsa Indonesia melalui alumni-alumninya, pantas untuk dikaji dan ditiru dalam penerapan pendidikan dan pengajarannya. Pesantren telah berhasil dalam penanaman dan penumbuhan rasa nasionalisme terhadap bangsa, serta pesantren telah berhasil juga dalam menanamkan moralitas bagi peserta didiknya. Tetapi perlu diingat bahwa, pesantren juga menanamkan ilmu pengetahuan bagi peserta didiknya. Jadi tidak sepantasnya pesantren atau madrasah yang ada di Indonesia, dihilangkan dari peta sejarah pendidikan Indonesia atau mendapatkan prilaku yang menyudutkan pesantren atau madrasah melalui pendiskriminasian fasilitas, bantuan-bantuan, atau memarjinalkan pesatren atau madrasah melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

Pemerintah pusat atau daerah selama ini hanya memperhatikan lembaga pendidikan atau sekolah umum sedangkan sekolah keagamaan seakan-akan keberadaannya bukan sebuah keharusan ditanah air Indonesia. Dibuktikan dengan keengganan pemerintah daerah menggelontorkan ABPD nya untuk kepentingan pembangunan pendidikan keagamaan (pesantren/Madrasah).

Ada yang beralasan bahwa, Keengganan pemerintah daerah ini bukannya tanpa alasan, tetapi dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas dari pemerintah pusat yang mengatur hal ini sehingga menimbulkan kekawatiran dari pemerintah daerah akan terjerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyalurkan ABPD nya.

Tetapi walaupun tanpa bantuan pemerintah yang signifikan, keberadaan pesantren tetap eksis dengan penuh ikhlas membina putra-putri bangsa. Pesantren atau madrasah terus mengukir karya dalam dunia pendidikan dinegara ini dengan tetap semangat, Ikhlas bina bangsa, sepi ing pamrih rame ing gawe memang benar-benar tertanam pada lembaga pendidikan pesantren dan madrasah. Jadi tidak mengherankan jika pesantren atau madrasah selalu menelurkan kesatria bangsa (politikus, budayawan, ekonom, guru bangsa, pahlawan, tokoh masyarakat) yang nasionalis, berseraramkan ilmu pengetahuan dan berkendaraan moralitas keagamaan (berakhlak yang mulia) peduli terhadap perkembangan masyarakat.

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!